Senin, 23 Juli 2012

Sidang Itsbat: Ternyata Pemerintah Salah

20/7/2012 | 02 Ramadhan 1433 H | Hits: 22.433
Oleh: M Saiyid Mahadhir
Kirim Print
Ilustrasi (photobucket.com)
Ilustrasi (photobucket.com)
dakwatuna.com – Negara kita memang belum bisa disebut dengan Negara Islam. Tapi setidaknya ini jauh lebih baik ketimbang kita tidak punya Negara. Iya kan? Belum lagi ditambah dengan kebijakan pemerintah yang jelas-jelas sudah banyak memberikan manfaatnya buat Islam. Pesantren tumbuh di mana-mana, kebebasan untuk menjalankan ritual ibadah agama Islam juga dilindungi oleh Negara, partai-partai Islam diberi ruang yang besar untuk tumbuh dan berjuang, ormas-ormas Islam juga sangat dihargai, jilbab sudah menjamur di mana-mana, dan sederet kebaikan lainnya yang sudah Negara ini berikan kepada Islam.
Alhamdulillah, semua itu sudah lama hadir bersama kita. Untuk itu adakah yang salah jika muslim di Indonesia ini hormat dan taat kepada pemimpin-pemimpin kita yang ada di Negara ini? Terutama ketika mereka semua sudah berusaha berjalan di atas kebenaran. Lain halnya jika mereka “dengan sengaja” ingin merusak umat ini.

Rabu, 22 Februari 2012

Bagian Dari Yang Mana Kita? Yang Sedikit Atau Yang Banyak?


Oleh Muhaimin Iqbal

Sebuah kapal tua mogok di tengah lautan, seluruh teknisi yang ada di kapal berusaha memperbaiki kerusakan berhari-hari tanpa hasil. Setelah mentog dengn crew-nya sendiri, si kapten kapal menyiarkan panggilan SOS dengan menguraikan problem yang dihadapi dan detil kapal yang di nakhkodainya. Datang merespon panggilannya adalah seorang teknisi tua dengan membawa tools box kecil, maka diantarlah teknisi tua ini ke ruang mesin dan diberi kesempatan untuk memperbaikinya. Setelah bekerja dengan peralatan sederhananya dalam beberapa menit, mesin kapal dapat dinyalakan dan kapal kembali berlayar.


Selasa, 14 Februari 2012

Selalu Berikhtiar dan Memilih Jalan yang Baik-baik



 

BILA berhadapan dengan orang yang hidup berkekurangan, diantara saran yang sering kita berikan adalah agar ia tidak berhenti berikhtiar memenuhi kebutuhannya. Bila ada orang yang melamar pekerjaan namun tidak kunjung lolos seleksi, kita juga mengatakan kepadanya agar tidak putus asa dalam berikhitiar. Bila ada lajang cukup umur yang belum juga menemukan pasangan hidupnya, lagi-lagi kita menyarankannya untuk terus berikhtiar.
Sungguh, betapa banyak hal yang bisa dilabuhkan kepada saran ini: mulai dari sakit ringan sampai yang mengancam jiwa, sulit mendapat sesuap nasi sampai sulit mendapat keturunan, dimusuhi teman sekantor sampai saudara kandung, dan seterusnya. Tetapi, apakah ikhtiar itu?
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefiniskan “ikhtiar” sebagai alat, syarat untuk mencapai maksud; daya upaya; mencari daya upaya; pilihan (pertimbangan, kehendak, pendapat, dsb).
Dalam penggunaan umum, ikhtiar adalah usaha, atau sebentuk aktifitas yang diharapkan menjadi solusi atas persoalan yang tengah membelit.
Pengertian ini tidak sepenuhnya keliru, namun mengandung masalah serius. Sebab, pada dasarnya ikhtiar adalah istilah keagamaan yang baku. Ia memiliki pengertian dan klasifikasi tersendiri atas persoalan-persoalan yang bisa dicakup di dalamnya. Memahami ikhtiar seharusnya dikembalikan kepada makna Islaminya, sehingga segala sesuatu menjadi jelas dan memiliki nilai ibadah.
Sebagai ilustrasi, seorang wanita tuna susila di kompleks pelacuran mungkin bisa mengatakan bahwa ia menjual diri sebagai ikhtiar memenuhi kebutuhan hidup, membiayai sekolah anaknya, menyewa tempat tinggal, dan aneka alasan lain. Seorang pencuri bisa saja berdalih ia mengambil harta orang lain sebagai ikhtiar. Seorang lajang bisa juga menyatakan pacaran adalah ikhtiarnya untuk mencari jodoh. Orang miskin juga beralasan sama bahwa membeli kupon togel sebagai ikhtiar mengatasi belitan kebutuhan, toh siapa tahu beruntung dan nomernya tembus. Bahkan, uang suap bisa dianggap sah dalam seleksi pegawai, siswa/mahasiswa baru, karena dianggap bagian dari ikhtiar.
Apakah hal-hal seperti itu dapat diterima sebagai bagian dari “ikhtiar”?

Pahamilah Tanda-tanda dan Fitnah Zaman!



DARI Said bin Zubair, dari Ibnu Abbas; ia berkata, bersabdalah Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم), "Tiada suatu kaum itu mengurangi takaran, mengelabuhi timbangan kecuali Allah akan mencegah hujan kepada mereka. Dan tiada nampak perzinaan pada suatu bangsa kecuali akan timbul maut atas mereka. Tidak lahir pada suatu kaum perbuatan riba kecuali Allah akan mengangkat penguasa yang gila. Tiada muncul pembunuhan pada suatu bangsa kecuali Allah akan memberi kekuasaan kepada musuh-musuh mereka. Dan tiada timbul suatu perbuatan homoseksual kecuali akan timbul pada mereka kehinaan (kemusnahan). Dan tiada suatu bangsa meninggalkan amar ma'ruf nahi mungkar, kecuali amal-amal mereka tidak akan terangkat dan doa-doa mereka tidak didengarkan." (HR.Tabrani).
Prediksi Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) ini sudah disampaikan 14 abad lamanya dan rupanya telah menjadi kenyataan hari ini. Kasus-kasus sosial dan moral;  mengurangi takaran/ timbangan, legalnya perzinahan, riba, pembunuhan, perbuatan homoseksual, dan meninggalkan amar ma'ruf nahi munkar bisa kita rasakan hari ini. Bahkan akhir-akhir ini kasus-kasus tersebut banyak sekali dilansir oleh media massa.
Fenomena ini disadari atau tidak, namun kenyataan membuktikan semakin hari problematika masyarakat makin tambah pelik akibat fitnah-fitnah tersebut.
Diceritakan oleh Urwah dari Aisyah ra dalam Musnad-nya, "Telah datang ke tempatku, Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم), beliau tampak sedih. Saya mengetahui dari wajahnya, bahwa beliau sedang dirisaukan oleh sesuatu. Beliau tidak berbicara hingga berwudhu, lalu keluar. Saya tetap tinggal di kamar. Kemudian beliau naik ke mimbar, lalu membaca tahmid dan berkhutbah: "Wahai saudara-saudara, sesungguhnya Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎) berfirman kepada kalian: "Serukanlah kebaikan dan cegahlah kemungkaran sebelum kalian berdoa kepada-Ku. Kalau tidak, Aku tidak akan menjawab kalian (tidak mengabulkan) ketika kalian memohon pertolongan kepada-Ku, Aku tidak akan menolongmu, kalau kalian minta, Aku tidak akan memberimu'."

Sayembara Penulisan Naskah Buku Pengayaan Tahun 2012


Dalam rangka menggali, mengembangkan, dan mendayagunakan potensi menulis di kalangan siswa, pendidik dan tenaga kependidikan, serta masyarakat umum, Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang Kemdikbud menyelenggarakan Sayembara Penulisan Naskah Buku Pengayaan. Kegiatan sayembara ini diperuntukkan bagi para peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan, serta masyarakat umum. Sayembara Penulisan Naskah Buku Pengayaan tahun 2012 ini memperebutkan hadiah total lebih dari Rp 1.000.000.000,00 untuk 57 pemenang dari 19 jenis naskah buku pengayaan.

Kamis, 09 Februari 2012

Tulislah Muslim, bukan Moslem

Quantcast

Curriculum vitae (CV) biasanya berisi tentang biodata, mulai dari nama, tempat dan tanggal lahir, status, pendidikan, alamat, hingga agama. Nah, ketita kita menuliskan agama, khususnya bagi yang beragama Islam, sering menuliskan kata Moslem untuk religion, bukan Muslim. Demikian juga ketika ditanya apakah agamamu dalam bahasa Inggris, sering dijawab dengan “I’m Moslem,” kata ini jelas salah. Seharusnya dia menjawabnya dengan I’m Muslim. Lalu dimanakah letak kesalahannya? Mari kita telusuri lebih jauh.
Dulu, orang Barat sering menyebut pengikut Nabi Muhammad SAW (orang Islam/Muslim) dengan sebutan Mohammedans, atau Mahometans. Dalam bahasa Inggris kuno, kata ini bisanya digunakan sebagai kata benda atau kata sifat yang berhubungan dengan Nabi Muhammad, agama Islam, atau praktik ibadah yang dilaksanakan oleh umat Islam.